Minggu, 23 September 2012

Korupsi dan Independensi KPK

Oleh Junaidi
Ketua Bidang KPP HMI Komisariat Adab 2012-2013.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Bab II Pasal 3 menyatakan bahwa setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya, merupakan hasil tindak pidana. Sebagaimana tujuannya, menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar (sepuluh miliar rupiah).

UU tersebut menjadi acuan dan dasar dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus-kasus seperti yang disebutkan oleh UU itu. Pimpinan KPK harus menyelaraskan antara amanat dan wewenangnya, yaitu harus berjalan sesuai dengan objektivitasnya dalam memberantas kasus suap dan korupsi. Hal yang perlu menjadi tujuan utama dalam memberantas korupsi adalah retribusi uang negara harus kembali seperti semula. Penyitaan dan pemiskinan harus dilaksanakan sebagai tuntutan dan hukuman. Apalagi, Ketua KPK Abraham Samad sudah bertekad untuk menindak tegas setiap kasus suap dan korupsi sesuai tugas dan wewenangnya.
Sportif

Selain itu, KPK memiliki wewenang dalam memonitor berbagai aktivitas keuangan negara khususnya di bidang perpajakan. Itu sesuai dengan UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Peberantasan Tindak Pidana Korupsi Bab 1 Pasal 6 bagian E bahwa KPK mempunyai tugas melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Jadi, segala aktivitas yang dilakukan berbagai aparatur negara wajib dipantau oleh KPK. Dalam rangka menjalankan tugasnya, KPK memiliki keleluasaan yang cukup luas dan independen untuk menginvestigasi secara langsung terhadap keuangan negara. Itu juga sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat 3 menegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.

Dengan adanya aturan mengenai keleluasaan KPK dalam memantau keuangan negara yang bersifat independen ini juga perlu disadari oleh pemerintah dan berbagai elemen masyarakat bahwa keleluasaan itu perlu dipantau juga oleh pihak lain selain dari KPK sendiri, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini demi menjaga sportivitas dan objektivitas pelaksanaan pemberantasan korupsi di negeri ini. Kadang keleluasaan dalam menjalankan suatu misi itu menjadikan suatu kelompok yang diberi tugas untuk semena-mena dan melupakan kiprahnya sebagai penegak hukum yang proporsional, objektif, dan sportif.

Dalam hal ini, aparatur negara yang lain perlu juga kiranya menjadi sosok negarawan yang bisa membela kepentingan rakyat dari segi kerugian ekonomi yang dikorupsi oleh para koruptor. Misalnya, ada dari pihak KPK yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Siapa lagi yang akan menjadi pahlawan keuangan negara yang menyangkut kemakmuran dan kesejahteraan rakyat jika KPK tidak dipantau? Ini patut dipertanyakan dan perlu dipantau pula mengingat tugas KPK yang bersifat independen dalam menangani kasus suap dan korupsi.

UU yang sama dalam Bab 2 Pasal 11 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Bagian C, menyebutkan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, serta mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar (satu miliar rupiah).

Apalagi yang diamanatkan oleh UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Peberantasan Tindak Pidana Korupsi itu merupakan keuangan yang berada dalam level sangat tinggi. Aturan yang dikeluarkan oleh UU tersebut minimal harus Rp 1 miliar. Dalam menjaga penyelewengan keuangan negara oleh KPK perlu kiranya ada pemantau ekstra di luar kendali KPK itu sendiri. Jika pemerintah tidak memiliki kecemburuan kepada KPK dalam menjalankan tugasnya, itu sama saja dengan memberikan kesempatan di balik minimal uang yang menjadi target sebagai persyaratan melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap keuangan negara tersebut.

Selain itu pula, setidaknya UU yang mengatur minimalnya uang yang boleh disidik dan dipantau oleh KPK perlu diamandemen, berapa pun nominalnya harus tetap dipantau dan disidik oleh KPK. Jika tidak demikian, KPK tidak akan memaksimalkan tugas dan kinerjanya, juga peluang melakukan suap dan korupsi bisa dilakukan dengan berbagai cara, misal, di bawah nominal yang memang diamanatkan oleh UU RI 2002 itu.

Pejabat yang harus disidik dan dituntut jika berada pada pencucian uang minimal satu miliar rupiah. Namun, rakyat kecil hanya karena persoalan sepele bisa diancam dengan penjara. Sungguh, hukum di Indonesia ini tidak proporsional antara pejabat dan rakyat jelata. Pandang bulu antara pejabat dan masyarakat sipil kini masih dirasakan di negeri ini. Setidaknya, kasus yang bersangkutan dengan persoalan keuangan negara harus diperiksa berapapun nominalnya dan harus pula memberikan ganjaran yang setimpal terhadap mereka yang terlibat, tanpa pandang bulu. Uang sepeser merupakan aset negara yang tidak boleh diabaikan, karena berapapun akan menjadi penentu terhadap nasib kehidupan ekonomi bangsa Indonesia. ***

[Tulisan ini dipotong dari Harian Suara Karya, Selasa, 4 September, 2012]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar