Rabu, 26 September 2012

Sense of Guilty; Mendidik ‘Orang Nakal’

Oleh Haukil
Ketua Umum HMI Komisariat Adab periode 2012-2013.

Dalam sebuah organisasi, bagaimanapun kapasitasnya, apakah itu organisasi relawan, ekstra kampus, warung makan, atau perusahaan, ada satu kata kunci yang terkenal belakangan ini yang disebut dengan passion. Apakah passion itu?

Pernahkah Anda melihat orang-orang yang malas-malasan dalam bekerja, baik itu mengerjakan pekerjaan rumah, atau tugas organisasi, dan kenyataan banyaknya para karyawan ‘nakal’ di sebuah perusahaan, pegawai negeri sipil yang ngelencer saat jam kerja? Itu merupakan suatu fenomena kerja yang tidak memiliki sentuhan dingin dari apa yang saya sebut tadi dengan passion. Ya, passion itu adalah semangat, untuk bekerja dalam hal apapun, baik itu berupah maupun tidak.

Passion memberikan kenyamanan dan kenikmatan pada seseorang dalam bekerja. Passion mengajarkan seseorang mengerti apa yang seharusnya dikerjakan, signifikansinya, dan mengerti tentang siapa yang akan senang ketika kita mengerjakan suatu pekerjaan dengan baik, dan sebaliknya. Passion adalah kekuatan yang profit dalam suksesi program-program kerja sebuah organisasi. Tanpanya, organisasi akan mandeg, kehilangan taring, dan tidak bisa memberikan kontibusi apapun baik bagi pelaku organisasi itu sendiri maupun orang lain secara luas.

Menurut Louis Sastrawijaya, seorang motivator ulung kenamaan kita, setidaknya ada tiga hal untuk menumbuhkan passion tersebut. Pertama, berusaha untuk selalu menikmati pekerjaan dalam situasi dan kondisi apapun. Kedua, semangat untuk terus berkembang, berubah, dan memberikan kontribusi positif. Dalam hal ini juga bisa dimasukkan rasa tidak puas dan selalu haus kemajuan dengan berkontribusi positip pada orang lain. Ketiga, memahami nilai (value) dalam malakukan suatu pekerjaan.

Maksud yang terakhir ini, seseorang tidak asal bekerja, tapi harus memahami betul nilai apa yang bisa didapat dari pekerjaan itu. Misalnya, banyak orang yang akan bahagia karena terselamatkan dengan pekerjaan tersebut, atau bernilai pengabdian pada bangsa dan negara. Haltersebut dengan sendiri akan menjadi kekuatan besar bagi setiap orang dalam menuntaskan segala tanggung jawab yang berada dipundaknya.

Meskipun nanti ternyata ada orang yang bekerja secara terpaksa, karena desakan kebutuhan ekonomi, misalnya, tidak boleh tidak mind set pikiran harus diubah dan diperbarui. Sebab jika tidak demikian, pekerjaan akan terasa amat sulit dan menyiksa, sehingga dalam kadaan seperti itu tak bisa diharapkan darinya suatu hasil pekerjaan yang baik dan positif.

Perasaan Bersalah
Makna harfiah dari sense of guilty adalah perasaan bersalah. Istilah ini telah umum digunakan untuk menunjukkan ikhtiar seseorang yang selalu mengevaluasi kinerjanya dan senantiasa untuk selalu melakukan yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Jika boleh saya mengatakan, maka perasaan bersalah itu merupakan modal awal untuk menjadi pemimpin yang baik. Barangkali Anda bingung dengan maksud saya ini, mengingat pemimpin seharusnya percaya diri, bukan justru merasa bersalah yang berpotensi menjadi penyebab terbengkalainya sebuah pekerjaan. Tapi, mari saya jelaskan lebih jauh. Mudah-mudahan Anda paham maksud saya.

Saya akan mulai menjelaskan dengan cara bertanya pada Anda terlebih dahulu, sebuah pertanyaan sederhana: bagaimana respon anda ketika melihat orang yang berlagak paling benar seduania, bagai tak pernah melakukan kesalahan atau lalai sedikit pun, seperti seorang malaikat? Jika Anda orang baik-baik dan waras, tampaknya tak perlu saya menunggu jawaban Anda, saya sudah bisa menebaknya tak jauh dari yang satu ini: jengkel.

Sejatinya tak pernah ada orang yang tidak pernah lalai dalam dalam hidupnya, sebagaimana manusia diciptakan sebagai mahluk yang lemah (dha’if). Yang sempurnah dan tidak pernah salah hanyalah Allah semata, tak ada duanya. Nabi Muhammad saja, yang kita junjung tinggi dan dimuliakan oleh Allah, juga tak lepas dari yang namanya kesalahan. Mengenai Nabi Muhammad, salah satunya kita bisa menunjuk teguran Allah kepada beliau ketika mengatakan “ya” dalam membuat janji dengan seseorang, seharusnya beliau menjawab “insyaallah”, sebab Allahlah yang maha mengatur segala sesuatu.

Hal ini memang sepele, tapi bagaimanapun hal ini menunjukkan betapa lemahnya manusia sehingga tak luput dari kesalahan. Tapi memang, kebanyakan manusia di abad ini enggan untuk mengakui kesalahannya, selalu menganggap dirinya paling benar, seakan kesalahan hanyalah milik orang lain. Apa ini namanya kalau bukan kesombongan seorang manusia? Ia berarti berusaha menyaingi Allah yang tak tersaingi.

Keadaan tersebut tentu tak akan pernah terjadi pada orang-orang yang maju dan berdaya saing. Sebab mereka selalu mengeveluasi diri, mencari kesalahan diri, lalu memperbaikinya dan mempersiapkan proyeksi-proyeksi matang untuk hari esok. Mereka tidak sombong, mengaku salah jika memang salah, dan siap menerima teguran dan belajar pada siapapun tanpa pandang bulu. Orang sukses tidak cukup sukses secara materi, tidak hanya berarti mendapatkan apapun yang dia ingin, melainkan merasakan ketenangan batin, dan mendapatkan tempat yang baik dalam masyarakat sekitarnya.

Maka dari itu, untuk mencapai kemajuan, kita harus pandai-pandai mengakui kesalahan. Tentu saja, mengakui kesalahan setelah adanya alasan-alasan yang bisa diterima. Mengaku salah jika memang sama sekali tidak merasa melakukan kesalahan itu juga tidak baik, berarti lemah, dan akan merasa selalu terganggu. Namun bisa saja begitu, asal untuk meredakan ketegangan atau mengakhiri perselisihan demi kekompakan bersama.

Sense of guilty yang dimaksud adalah perasaan bersalah terhadap sebuah kelalaian sekecil apapun lalu berusaha memperbaikinya. Menunurut hemat saya, ini adalah modal utama untuk menjadi pribadi yang maju dan pemimpin yang berkarakter. Sense of guilty, jika diperhatikan secara seksama, pada titik tertentu  meniscayakan adanya rasa tanggung jawab yang tinggi. Anda pasti setuju, jika saya mengatakan bahwa si Paijo itu adalah orang yang bertanggung jawab sebab ia merasa bersalah ketika tidak menjemput adiknya yang pulang sekolah sebagaimana tugas yang diberikan padanya oleh orang tuanya.

Tidak hanya itu, perasaan bersalah tak cukup hanya sebatas pearasaan tanpa makna, apalagi berakibat kerugian pada orang lain. Perasaan bersalah harus dibarengi dengan permintaan maaf untuk kemudian diperbaiki dan tidak mengulangi kembali.

Jika tidak demikian, maka lupakankanlah cita-cita untuk menjadi orang sukses. Yang ada, kita hanya akan dikucilkan, menjadi bahan pembicaraan orang, dan tidak mendapat kepercayaan orang karena kita dicap sebagai ‘orang nakal’. Keadaan ini akan menyulitkan kita untuk menyongsong hari esok.

Sekali lagi, padai-pandailah mengoreksi kesalahan diri sendiri, meminta maaf, dan selalu berusaha mengerjakan yang terbaik, terutama untuk kepentingan orang lain (termasuk organisasi), bukan untuk pribadi dan golongan yang bersifat parsial.***

[Tulisan ini bisa pula dibaca di sini]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar