Senin, 24 September 2012

Tiga Cerita Tentang Kakek Tua Di Kosmapenta

 Cerpen Uswatul Jannah
Mahasiswi Semester IV Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya

Satu
Bulir-bulir putih yang selalu muncul di pagi hari ini meleleh, lebur perlahan mengiringi tarian angin. Daun-daun melelambai, samar-samar di antara bulan yang sedang tersenyum sumringah, menanti sang fajar yang tengah bangun kesiangan. Sedang langit biru lebih memilih bersembunyi, malu-memalu di balik gumpalan awan kelambu. Sosok gadis berperawakan tinggi semampai keluar dari salah satu kamar asrama mahasiswa. Ia memandang lepas ke langit-langit, ia tersenyum, lalu dengan perlahan tapi pasti, lamat-lamat ia menghampiri bunga-bunga melati yang tumbuh di pot-pot depan teras. Ia memetik satu, lalu menciuminya. Wajah oval dan kepalanya berbalut jilbab warna pink yang merona. Ia tersenyum lagi, lalu spontan ia bersijengkat melonjak kegirangan dalam suasana pagi. Tak lama kemudian ia merogoh handphone butut di saku celananya, mengetik pesan singkat, untuk seseorang yang jauh di sana.

 “Jangan lupa usahakan banyak yang datang, ya?” pesannya singkat.

Kini ia mulai meloncat-loncat kecil keluar asrama, ia melebur dengan suasana kegirangan. Seketika, ia memperhatikan gedung-gedung kampus yang masih sepi sembari merentangkan tangannya diterpa angin. Senyum sumringahnya terus merekah dari bibir mungilnya.

“Farah !”


Ia terdiam. Kaget bukan kepalang. Seorang teman menyapanya ramah. Ia pun menoleh, mencari-cari di mana suara orang yang sudah memanggil namanya. Kini langkahnya perlahan menapaki gerbang kampus. Ia melihat keluar dan membuka gerbang. Segera saja pemandangan jalan raya dengan macet menghiasi pagi.

“Memang akan terasa aneh jikalau mungkin kota besar nggak terbiasa dengan macet.” Gumamnya sambil bergeleng-geleng kepala.

Langkahnya kemudian melambat. Sesuatu seperti menarik perhatiannya. Benar saja, tepat di hadapannya, seorang kakek tua duduk bersimpuh dengan wajah yang menunduk, memelas, mengharapkan bunga-bunga sosial dari para pengguna jalan yang melintasinya. Ia pun mendekat, memutuskan duduk di samping sang kakek, memperhatikannya lebih dekat lagi. Si kakek hanya merasa aneh melihat ke arahnya.

“Selamat pagi kek?”

“Kakek namanya siapa?”

Si kakek hanya terdiam, memastikan keberadaannya. Ia pun merogoh saku bajunya dan meletakkan uang lima ribuan di kaleng santun depan tempat duduknya. Ia beranjak pergi, tapi kemudian si kakek mencegahnya. Ia memandang, mengulum senyum, menyadari akan taktiknya. Ia  berhasil meluluhkan hati si kakek. Tapi malang baginya, karena sampai beberapa menit kakek itu tak jua bicara. Membuka mulut pun seperti tak niat. Ia mulai sedikit agak kecewa.

Akhirnya si kakek menunjuk mulutnya sembari memintanya segera mendekat. Ia menanggapi jelas permintaannya, dan sesaat itu juga ia melihat mulut si kakek.

“Astaga !” seketika ia terperanjat kaget. Betapa tidak, kalau lidah si kakek ternyata sudah putus. Perlahan, ia pun bangkit, memegang bahu si kakek dan mengajaknya pergi dan duduk di warung sekitaran jalan raya.

“Minum teh hangat ya kek, biar kakek lebih segaran.”

Kakek pun sedikit tersenyum sumringah, meneguk segelas teh yang terjajar rapi di hadapannya. Ia memandanginya jeli, hatinya miris. Masa tua yang seharusnya bisa dinikmatinya, berkelakar bersama keluarga, dan bercanda dengan cucu – cucu, malah tertimbun di bawah lempar temaran koin – koin pengasihan.

Tanpa terasa sudah hampir satu jam ia menemani si kakek di warung. Ia pun lalu memutuskan kembali ke asrama dan siap – siap bergegas ke kampus. Hari ini ia ada rapat dengan teman kosmapenta; komunitas remaja penuh cinta, yang kebetulan juga ia menjabat sebagai ketua umum di Fakultasnya. Sebuah komunitas kecil yang memiliki motto “kebahagiaan hak milik semua orang”.

Ia masih membayangkan wajah kakek tadi, memikirkannya, dengan simpul-simpul senyum yang mungkin jarang sekali ia rasakan. Hari ini ia menemukan sahabat baru. Baginya, merupakan suatu anugerah ketika Tuhan mempertemukan ia dengan orang – orang yang seperti kakek. Tanpa berpikir panjang ia kemudian beranjak, memutuskan menitipkan kakek di panti, yang letaknya juga tak jauh dari kampus. Ia dan teman – temannya menyewa rumah itu untuk  menampung orang – orang yang seperti kakek. Sampai saat ini ada delapan orang di rumah itu. Tiga orang nenek – nenek dan lima orang kakek – kakek. Semuanya mantan pengemis jalanan. Beruntung  kamarnya ada beberapa. Jadi ia tidak usah repot-repot lagi mencari tempat lagi untuk tempat penampungan.

Walaupun honornya sebagai pengajar di TPQ tak seberapa, tapi untuk sekedar memenuhi kebutuhan mereka. ia masih sangatlah bisa, di bantu teman – teman dan uang beasiswa yang dia terima tiap akhir bulan dari Departemen Agama.

Dua
Tadi pagi ada seorang wanita paruh baya mendatangi Farah di kampus dan memaki-makinya. Praktis, ia menjadi tontonan gratis di area halaman kampus. Bahkan, wanita paruh baya itu juga membentak teman Farah yang mencoba ingin menengahi. Namun wajah Farah tetap tenang dan masih sempat tersenyum.

“Maaf bu, apa kita bisa bicara di tempat lain? Tentunya ibu tidak ingin berurusan dengan pihak kampus khan?” Farah mengajak wanita paruh baya itu ke ruang kosmapenta. Ia mengambil soft drink dari dalam kulkas, berharap bisa menenangkan amarahnya yang sedang berbinar-binar.

“Minum dulu ya bu”, Wanita paruh baya itu masih mencibir dengan wajah yang sinis, sembari perlahan mengambil minuman yang sudah ditawarkan.

“Dengar ya dik, saya ke sini bukan mau basa-basi. Saya ke sini mau meminta pertanggungjawaban atas bapak saya. Adik ini sudah berani mengadopsi bapak saya tanpa persetujuan saya. Asal adik tahu saja, sejak bapak tinggal di sini keluarga kami tidak makan dan kelaparan. Dan itu semua gara-gara adik.”

Farah hanya menggaruk-garuk  kepalanya yang tak gatal. Bingung. Baginya bukan hal asing menghadapi orang seperti ini. Tapi yang ini lumayan senang ngomong. Apalagi sampai muncrat-muncrat.

“Bu, apa ibu tidak malu, meminta nafkah pada kakek yang tua renta yang seharusnya menikmati masa tuanya? Lalu suami ibu? Di mana? Maaf, apa dia tidak peduli sebagai kepala keluarga?” Ibu itu menahan emosi, natanya membelalak tajam.

“Adek ini tidak usah menggurui saya. Kuliah saja cuma pacaran. Sok nyeramahin orang!” Farah hanya menarik nafas geram. Lama-lama ia tak tahan juga dengan orang itu.

“Ya sudah, sekarang ibu maunya apa?” Farah akhirnya langsung bicara ke titik permasalahan. Orang ini hanya akan membuatku telat masuk kelas, pikirnya.

“Seperti yang saya bilang, kembalikan bapak saya, dan saya juga mau minta ganti rugi untuk jatah kebutuhan kami selama bapak diculik di sini!”

Seketika, mata Farah membelalak. Ia tak menyangka wanita yang dihadapinya ini sebegitu pintarnya. Apa ini modus penipuan baru yang belum ia baca di koran?

“Maaf ya bu, anda lupa kalau saya ini mahasiswa. Saya menculik? Jadi jangan coba-coba menipu saya. Saya bisa saja sekarang telpon polisi dan melaporkan ibu.” Wanita di depan Farah tetap berlagak pongah.

“Silakan saja adek telpon polisi. Biar sekalian saya juga akan melaporkan tentang permasalahan ini!” Farah menarik nafas dalam-dalam, mencoba bersabar dan mengontrol emosinya.

“Ya Tuhan, apa memang sebaiknya aku menyerahkan kakek? Aku bingung, sungguh aku tidak tahu wanita ini siapanya kakek. Lagipula aku bukan siapa-siapanya kakek. Sepertinya wanita ini lebih berhak atas kakek. Tapi Itu berarti aku membiarkan kakek menghinakan diri lagi? Apalagi dengan kondisi kakek yang tidak bisa bicara. Walaupun dimaki-maki dia pasti tak mungkin bisa melawan atau membela. Sungguh ya Tuhan, aku tak kuasa membayangkan semua itu terjadi.

Tapi aku juga tak mungkin berdebat terus dengan ibu ini. Ya Tuhan, tunjukkan aku jalanMu !” batin kecilnya.

Ditengah kebingungan itu tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Kini di ambang pintu kakek berdiri dengan air mata terurai. Ia menghampiri Farah dan membelai jilbabnya. Badannya terguncang. Farah berkaca-kaca.

“Kek...” kakek menggeleng sembari menghapus air mata Farah.

“E..i..a..a..i..” kakek berusaha susah payah mengucapkan sesuatu.

“Kakek mau bilang apa?” Farah mencoba memahami.

“Sudahlah. Seperti anak kecil saja!” Kakek memandang tajam ke arah suara. Ia mendekati si ibu dan...

Plakk! Dia menamparnya. Kakek lalu pergi begitu saja dengan langkah terseret.

 “Ya Tuhan, maafkan aku yang lemah. Maafkan Farah kek...”

Tiga
Keesokan harinya langit tampak muram. Fajar seakan enggan menampakkan diri. Awan pun bergerak pelan. Pelan sekali. Dan seperti biasa, Farah bangun pagi dan melongo keluar jendela.

 “Kayaknya bakalan hujan seharian”, Gumamnya sembari memandang langit. Tiba-tiba sebuah panggilan dari bawah megejutkannya.

“Ada kiriman mbak Farah!” Pak satpam menunjukkan sepucuk surat beramplop putih dari lantai bawah Farah segera turun dan menemui pak satpam. Ia membuka lipatan kertas lusuh itu penuh dengan perasaan was-was dan tanda tanya.

Untuk Nak Farah,

Terima kasih telah menyadarkan kakek tentang arti berbagi, dan juga arti ketulusan di dunia ini. Walaupun pada dasarnya hidup kakek hanya diselimuti beragam makian dan tuntutan untuk mengais recehan. Andai nak Farah tahu bahwa wanita kemarin itu adalah orang yang membuat kakek tak pernah bisa bicara lagi. Wanita yang angkuh, tidak waras mental, dulu juga menyiksa orang yang telah membuatnya lahir ke dunia. Mengetahuinya pun Kakek sangat prihatin.

Nak Farah, jika suatu saat kakek pergi, ambillah uang kakek di dekat rel kereta terakhir kita bertemu. Semoga bermanfaat untuk yang lainnya ”

Kakek.

Farah tertegun dan menerka-nerka maksud kakek. Matanya sedikit panas. Ia kemudian mendapati koran hari ini dari pak satpam, seperti biasa.

Surabaya (20/01)-Seorang kakek mantan TNI AD bernama Rifa’i (71) ditemukan tak bernyawa lagi setelah menenggak segelas teh hangat dari sang menantunya. Diduga keras menantulah di balik peristiwa ini. Hingga…

“Kakek....”

[Cerpen ini dipotong dari rubrik Serambi Budaya, Radar Mojokerto, 13 Mei 2012]

2 komentar:

  1. bagaimana cara ngirim tulisan ke Serambi Budaya tersebut? ada persyaratan teknisnya kah? alamat emailnya? barang kali ada di antara kawan kita yang tertarik. semoga penulis cerpen ini sudi untuk berbagi tips dan pengalaman....

    BalasHapus
  2. iye keng uus tak pate share... mayuk us...

    BalasHapus