Oleh Junaidi
Ketua Bidang KPP HMI Komisariat Adab
2012-2013.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Bab II Pasal 3 menyatakan bahwa setiap orang yang menempatkan, mentransfer,
mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya,
merupakan hasil tindak pidana. Sebagaimana tujuannya, menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian
uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 10 miliar (sepuluh miliar rupiah).
UU tersebut menjadi acuan dan dasar
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus-kasus
seperti yang disebutkan oleh UU itu. Pimpinan KPK harus menyelaraskan antara
amanat dan wewenangnya, yaitu harus berjalan sesuai dengan objektivitasnya
dalam memberantas kasus suap dan korupsi. Hal yang perlu menjadi tujuan utama
dalam memberantas korupsi adalah retribusi uang negara harus kembali seperti
semula. Penyitaan dan pemiskinan harus dilaksanakan sebagai tuntutan dan
hukuman. Apalagi, Ketua KPK Abraham Samad sudah bertekad untuk menindak tegas
setiap kasus suap dan korupsi sesuai tugas dan wewenangnya.
Sportif
Selain itu, KPK memiliki wewenang dalam
memonitor berbagai aktivitas keuangan negara khususnya di bidang perpajakan.
Itu sesuai dengan UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Peberantasan Tindak
Pidana Korupsi Bab 1 Pasal 6 bagian E bahwa KPK mempunyai tugas melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Jadi, segala aktivitas yang dilakukan
berbagai aparatur negara wajib dipantau oleh KPK. Dalam rangka menjalankan
tugasnya, KPK memiliki keleluasaan yang cukup luas dan independen untuk
menginvestigasi secara langsung terhadap keuangan negara. Itu juga sesuai
dengan bunyi Pasal 1 ayat 3 menegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan mana pun.
Dengan adanya aturan mengenai
keleluasaan KPK dalam memantau keuangan negara yang bersifat independen ini
juga perlu disadari oleh pemerintah dan berbagai elemen masyarakat bahwa
keleluasaan itu perlu dipantau juga oleh pihak lain selain dari KPK sendiri,
seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini demi menjaga sportivitas dan
objektivitas pelaksanaan pemberantasan korupsi di negeri ini. Kadang
keleluasaan dalam menjalankan suatu misi itu menjadikan suatu kelompok yang
diberi tugas untuk semena-mena dan melupakan kiprahnya sebagai penegak hukum
yang proporsional, objektif, dan sportif.
Dalam hal ini, aparatur negara yang lain
perlu juga kiranya menjadi sosok negarawan yang bisa membela kepentingan rakyat
dari segi kerugian ekonomi yang dikorupsi oleh para koruptor. Misalnya, ada
dari pihak KPK yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya. Siapa lagi yang akan menjadi pahlawan keuangan negara
yang menyangkut kemakmuran dan kesejahteraan rakyat jika KPK tidak dipantau?
Ini patut dipertanyakan dan perlu dipantau pula mengingat tugas KPK yang
bersifat independen dalam menangani kasus suap dan korupsi.
UU yang sama dalam Bab 2 Pasal 11
menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
Bagian C, menyebutkan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum,
penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara,
serta mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar (satu miliar rupiah).
Apalagi yang diamanatkan oleh UU RI
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Peberantasan Tindak Pidana Korupsi itu
merupakan keuangan yang berada dalam level sangat tinggi. Aturan yang
dikeluarkan oleh UU tersebut minimal harus Rp 1 miliar. Dalam menjaga
penyelewengan keuangan negara oleh KPK perlu kiranya ada pemantau ekstra di
luar kendali KPK itu sendiri. Jika pemerintah tidak memiliki kecemburuan kepada
KPK dalam menjalankan tugasnya, itu sama saja dengan memberikan kesempatan di
balik minimal uang yang menjadi target sebagai persyaratan melakukan penyidikan
dan penuntutan terhadap keuangan negara tersebut.
Selain itu pula, setidaknya UU yang
mengatur minimalnya uang yang boleh disidik dan dipantau oleh KPK perlu
diamandemen, berapa pun nominalnya harus tetap dipantau dan disidik oleh KPK.
Jika tidak demikian, KPK tidak akan memaksimalkan tugas dan kinerjanya, juga
peluang melakukan suap dan korupsi bisa dilakukan dengan berbagai cara, misal,
di bawah nominal yang memang diamanatkan oleh UU RI 2002 itu.
Pejabat yang harus disidik dan dituntut
jika berada pada pencucian uang minimal satu miliar rupiah. Namun, rakyat kecil
hanya karena persoalan sepele bisa diancam dengan penjara. Sungguh, hukum di
Indonesia ini tidak proporsional antara pejabat dan rakyat jelata. Pandang bulu
antara pejabat dan masyarakat sipil kini masih dirasakan di negeri ini.
Setidaknya, kasus yang bersangkutan dengan persoalan keuangan negara harus
diperiksa berapapun nominalnya dan harus pula memberikan ganjaran yang setimpal
terhadap mereka yang terlibat, tanpa pandang bulu. Uang sepeser merupakan aset
negara yang tidak boleh diabaikan, karena berapapun akan menjadi penentu
terhadap nasib kehidupan ekonomi bangsa Indonesia. ***
[Tulisan ini dipotong dari Harian Suara Karya, Selasa, 4 September,
2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar