Cerpen Uswatul Jannah
Mahasiswi Semester IV Fakultas Adab
IAIN Sunan Ampel Surabaya
Satu
Bulir-bulir putih yang selalu muncul
di pagi hari ini meleleh, lebur perlahan mengiringi tarian angin. Daun-daun
melelambai, samar-samar di antara bulan yang sedang tersenyum sumringah,
menanti sang fajar yang tengah bangun kesiangan. Sedang langit biru lebih
memilih bersembunyi, malu-memalu di balik gumpalan awan kelambu. Sosok gadis
berperawakan tinggi semampai keluar dari salah satu kamar asrama mahasiswa. Ia
memandang lepas ke langit-langit, ia tersenyum, lalu dengan perlahan tapi
pasti, lamat-lamat ia menghampiri bunga-bunga melati yang tumbuh di pot-pot
depan teras. Ia memetik satu, lalu menciuminya. Wajah oval dan kepalanya
berbalut jilbab warna pink yang merona. Ia tersenyum lagi, lalu spontan ia
bersijengkat melonjak kegirangan dalam suasana pagi. Tak lama kemudian ia
merogoh handphone butut di saku celananya, mengetik pesan singkat, untuk
seseorang yang jauh di sana.
“Jangan lupa usahakan banyak yang datang, ya?”
pesannya singkat.
Kini ia mulai meloncat-loncat kecil
keluar asrama, ia melebur dengan suasana kegirangan. Seketika, ia memperhatikan
gedung-gedung kampus yang masih sepi sembari merentangkan tangannya diterpa
angin. Senyum sumringahnya terus merekah dari bibir mungilnya.
“Farah !”
Ia terdiam. Kaget bukan kepalang.
Seorang teman menyapanya ramah. Ia pun menoleh, mencari-cari di mana suara
orang yang sudah memanggil namanya. Kini langkahnya perlahan menapaki gerbang
kampus. Ia melihat keluar dan membuka gerbang. Segera saja pemandangan jalan
raya dengan macet menghiasi pagi.
“Memang akan terasa aneh jikalau
mungkin kota besar nggak terbiasa dengan macet.” Gumamnya sambil
bergeleng-geleng kepala.
Langkahnya kemudian melambat.
Sesuatu seperti menarik perhatiannya. Benar saja, tepat di hadapannya, seorang
kakek tua duduk bersimpuh dengan wajah yang menunduk, memelas, mengharapkan
bunga-bunga sosial dari para pengguna jalan yang melintasinya. Ia pun mendekat,
memutuskan duduk di samping sang kakek, memperhatikannya lebih dekat lagi. Si
kakek hanya merasa aneh melihat ke arahnya.
“Selamat pagi kek?”
“Kakek namanya siapa?”
Si kakek hanya terdiam, memastikan
keberadaannya. Ia pun merogoh saku bajunya dan meletakkan uang lima ribuan di
kaleng santun depan tempat duduknya. Ia beranjak pergi, tapi kemudian si kakek
mencegahnya. Ia memandang, mengulum senyum, menyadari akan taktiknya. Ia berhasil meluluhkan hati si kakek. Tapi
malang baginya, karena sampai beberapa menit kakek itu tak jua bicara. Membuka
mulut pun seperti tak niat. Ia mulai sedikit agak kecewa.
Akhirnya si kakek menunjuk mulutnya
sembari memintanya segera mendekat. Ia menanggapi jelas permintaannya, dan
sesaat itu juga ia melihat mulut si kakek.
“Astaga !” seketika ia terperanjat
kaget. Betapa tidak, kalau lidah si kakek ternyata sudah putus. Perlahan, ia
pun bangkit, memegang bahu si kakek dan mengajaknya pergi dan duduk di warung
sekitaran jalan raya.
“Minum teh hangat ya kek, biar kakek
lebih segaran.”
Kakek pun sedikit tersenyum
sumringah, meneguk segelas teh yang terjajar rapi di hadapannya. Ia
memandanginya jeli, hatinya miris. Masa tua yang seharusnya bisa dinikmatinya,
berkelakar bersama keluarga, dan bercanda dengan cucu – cucu, malah tertimbun di
bawah lempar temaran koin – koin pengasihan.
Tanpa terasa sudah hampir satu jam
ia menemani si kakek di warung. Ia pun lalu memutuskan kembali ke asrama dan
siap – siap bergegas ke kampus. Hari ini ia ada rapat dengan teman kosmapenta;
komunitas remaja penuh cinta, yang kebetulan juga ia menjabat sebagai ketua
umum di Fakultasnya. Sebuah komunitas kecil yang memiliki motto “kebahagiaan
hak milik semua orang”.
Ia masih membayangkan wajah kakek
tadi, memikirkannya, dengan simpul-simpul senyum yang mungkin jarang sekali ia
rasakan. Hari ini ia menemukan sahabat baru. Baginya, merupakan suatu anugerah
ketika Tuhan mempertemukan ia dengan orang – orang yang seperti kakek. Tanpa
berpikir panjang ia kemudian beranjak, memutuskan menitipkan kakek di panti,
yang letaknya juga tak jauh dari kampus. Ia dan teman – temannya menyewa rumah
itu untuk menampung orang – orang yang
seperti kakek. Sampai saat ini ada delapan orang di rumah itu. Tiga orang nenek
– nenek dan lima orang kakek – kakek. Semuanya mantan pengemis jalanan.
Beruntung kamarnya ada beberapa. Jadi ia
tidak usah repot-repot lagi mencari tempat lagi untuk tempat penampungan.
Walaupun honornya sebagai pengajar
di TPQ tak seberapa, tapi untuk sekedar memenuhi kebutuhan mereka. ia masih
sangatlah bisa, di bantu teman – teman dan uang beasiswa yang dia terima tiap
akhir bulan dari Departemen Agama.
Dua
Tadi pagi ada seorang wanita paruh
baya mendatangi Farah di kampus dan memaki-makinya. Praktis, ia menjadi
tontonan gratis di area halaman kampus. Bahkan, wanita paruh baya itu juga
membentak teman Farah yang mencoba ingin menengahi. Namun wajah Farah tetap
tenang dan masih sempat tersenyum.
“Maaf bu, apa kita bisa bicara di
tempat lain? Tentunya ibu tidak ingin berurusan dengan pihak kampus khan?”
Farah mengajak wanita paruh baya itu ke ruang kosmapenta. Ia mengambil soft
drink dari dalam kulkas, berharap bisa menenangkan amarahnya yang sedang
berbinar-binar.
“Minum dulu ya bu”, Wanita paruh
baya itu masih mencibir dengan wajah yang sinis, sembari perlahan mengambil
minuman yang sudah ditawarkan.
“Dengar ya dik, saya ke sini bukan
mau basa-basi. Saya ke sini mau meminta pertanggungjawaban atas bapak saya.
Adik ini sudah berani mengadopsi bapak saya tanpa persetujuan saya. Asal adik
tahu saja, sejak bapak tinggal di sini keluarga kami tidak makan dan kelaparan.
Dan itu semua gara-gara adik.”
Farah hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Bingung. Baginya
bukan hal asing menghadapi orang seperti ini. Tapi yang ini lumayan senang
ngomong. Apalagi sampai muncrat-muncrat.
“Bu, apa ibu tidak malu, meminta
nafkah pada kakek yang tua renta yang seharusnya menikmati masa tuanya? Lalu
suami ibu? Di mana? Maaf, apa dia tidak peduli sebagai kepala keluarga?” Ibu
itu menahan emosi, natanya membelalak tajam.
“Adek ini tidak usah menggurui saya.
Kuliah saja cuma pacaran. Sok nyeramahin orang!” Farah hanya menarik nafas
geram. Lama-lama ia tak tahan juga dengan orang itu.
“Ya sudah, sekarang ibu maunya apa?”
Farah akhirnya langsung bicara ke titik permasalahan. Orang ini hanya akan
membuatku telat masuk kelas, pikirnya.
“Seperti yang saya bilang,
kembalikan bapak saya, dan saya juga mau minta ganti rugi untuk jatah kebutuhan
kami selama bapak diculik di sini!”
Seketika, mata Farah membelalak. Ia
tak menyangka wanita yang dihadapinya ini sebegitu pintarnya. Apa ini modus
penipuan baru yang belum ia baca di koran?
“Maaf ya bu, anda lupa kalau saya
ini mahasiswa. Saya menculik? Jadi jangan coba-coba menipu saya. Saya bisa saja
sekarang telpon polisi dan melaporkan ibu.” Wanita di depan Farah tetap
berlagak pongah.
“Silakan saja adek telpon polisi.
Biar sekalian saya juga akan melaporkan tentang permasalahan ini!” Farah
menarik nafas dalam-dalam, mencoba bersabar dan mengontrol emosinya.
“Ya Tuhan, apa memang sebaiknya aku
menyerahkan kakek? Aku bingung, sungguh aku tidak tahu wanita ini siapanya
kakek. Lagipula aku bukan siapa-siapanya kakek. Sepertinya wanita ini lebih
berhak atas kakek. Tapi Itu berarti aku membiarkan kakek menghinakan diri lagi?
Apalagi dengan kondisi kakek yang tidak bisa bicara. Walaupun dimaki-maki dia
pasti tak mungkin bisa melawan atau membela. Sungguh ya Tuhan, aku tak kuasa
membayangkan semua itu terjadi.
Tapi aku juga tak mungkin berdebat
terus dengan ibu ini. Ya Tuhan, tunjukkan aku jalanMu !” batin kecilnya.
Ditengah kebingungan itu tiba-tiba
seseorang mengetuk pintu. Kini di ambang pintu kakek berdiri dengan air mata
terurai. Ia menghampiri Farah dan membelai jilbabnya. Badannya terguncang.
Farah berkaca-kaca.
“Kek...” kakek menggeleng sembari
menghapus air mata Farah.
“E..i..a..a..i..” kakek berusaha
susah payah mengucapkan sesuatu.
“Kakek mau bilang apa?” Farah
mencoba memahami.
“Sudahlah. Seperti anak kecil saja!”
Kakek memandang tajam ke arah suara. Ia mendekati si ibu dan...
Plakk! Dia menamparnya. Kakek lalu
pergi begitu saja dengan langkah terseret.
“Ya Tuhan, maafkan aku yang lemah. Maafkan
Farah kek...”
Tiga
Keesokan harinya langit tampak
muram. Fajar seakan enggan menampakkan diri. Awan pun bergerak pelan. Pelan
sekali. Dan seperti biasa, Farah bangun pagi dan melongo keluar jendela.
“Kayaknya bakalan hujan seharian”, Gumamnya
sembari memandang langit. Tiba-tiba sebuah panggilan dari bawah megejutkannya.
“Ada kiriman mbak Farah!” Pak satpam
menunjukkan sepucuk surat beramplop putih dari lantai bawah Farah segera turun
dan menemui pak satpam. Ia membuka lipatan kertas lusuh itu penuh dengan
perasaan was-was dan tanda tanya.
Untuk Nak Farah,
Terima kasih telah menyadarkan kakek
tentang arti berbagi, dan juga arti ketulusan di dunia ini. Walaupun pada
dasarnya hidup kakek hanya diselimuti beragam makian dan tuntutan untuk mengais
recehan. Andai nak Farah tahu bahwa wanita kemarin itu adalah orang yang membuat
kakek tak pernah bisa bicara lagi. Wanita yang angkuh, tidak waras mental, dulu
juga menyiksa orang yang telah membuatnya lahir ke dunia. Mengetahuinya pun
Kakek sangat prihatin.
Nak Farah, jika suatu saat kakek
pergi, ambillah uang kakek di dekat rel kereta terakhir kita bertemu. Semoga
bermanfaat untuk yang lainnya ”
Kakek.
Farah tertegun dan menerka-nerka
maksud kakek. Matanya sedikit panas. Ia kemudian mendapati koran hari ini dari
pak satpam, seperti biasa.
Surabaya (20/01)-Seorang kakek
mantan TNI AD bernama Rifa’i (71) ditemukan tak bernyawa lagi setelah menenggak
segelas teh hangat dari sang menantunya. Diduga keras menantulah di balik
peristiwa ini. Hingga…
“Kakek....”
[Cerpen ini dipotong dari rubrik
Serambi Budaya, Radar Mojokerto, 13 Mei 2012]
bagaimana cara ngirim tulisan ke Serambi Budaya tersebut? ada persyaratan teknisnya kah? alamat emailnya? barang kali ada di antara kawan kita yang tertarik. semoga penulis cerpen ini sudi untuk berbagi tips dan pengalaman....
BalasHapusiye keng uus tak pate share... mayuk us...
BalasHapus