Oleh Haukil
Ketua Umum HMI Komisariat Adab periode 2012-2013.
Dalam sebuah organisasi, bagaimanapun kapasitasnya, apakah itu organisasi relawan, ekstra kampus, warung makan, atau perusahaan, ada satu kata kunci yang terkenal belakangan ini yang disebut dengan passion. Apakah passion itu?
Pernahkah
Anda melihat orang-orang yang malas-malasan dalam bekerja, baik itu mengerjakan
pekerjaan rumah, atau tugas organisasi, dan kenyataan banyaknya para karyawan
‘nakal’ di sebuah perusahaan, pegawai negeri sipil yang ngelencer saat jam
kerja? Itu merupakan suatu fenomena kerja yang tidak memiliki sentuhan dingin
dari apa yang saya sebut tadi dengan passion. Ya, passion itu adalah semangat,
untuk bekerja dalam hal apapun, baik itu berupah maupun tidak.
Passion
memberikan kenyamanan dan kenikmatan pada seseorang dalam bekerja. Passion
mengajarkan seseorang mengerti apa yang seharusnya dikerjakan, signifikansinya,
dan mengerti tentang siapa yang akan senang ketika kita mengerjakan suatu
pekerjaan dengan baik, dan sebaliknya. Passion adalah kekuatan yang profit
dalam suksesi program-program kerja sebuah organisasi. Tanpanya, organisasi
akan mandeg, kehilangan taring, dan tidak bisa memberikan kontibusi apapun baik
bagi pelaku organisasi itu sendiri maupun orang lain secara luas.
Menurut
Louis Sastrawijaya, seorang motivator ulung kenamaan kita, setidaknya ada tiga
hal untuk menumbuhkan passion tersebut. Pertama, berusaha untuk selalu
menikmati pekerjaan dalam situasi dan kondisi apapun. Kedua, semangat untuk terus
berkembang, berubah, dan memberikan kontribusi positif. Dalam hal ini juga bisa
dimasukkan rasa tidak puas dan selalu haus kemajuan dengan berkontribusi
positip pada orang lain. Ketiga, memahami nilai (value) dalam malakukan suatu
pekerjaan.
Maksud
yang terakhir ini, seseorang tidak asal bekerja, tapi harus memahami betul
nilai apa yang bisa didapat dari pekerjaan itu. Misalnya, banyak orang yang
akan bahagia karena terselamatkan dengan pekerjaan tersebut, atau bernilai
pengabdian pada bangsa dan negara. Haltersebut dengan sendiri akan menjadi
kekuatan besar bagi setiap orang dalam menuntaskan segala tanggung jawab yang
berada dipundaknya.
Meskipun
nanti ternyata ada orang yang bekerja secara terpaksa, karena desakan kebutuhan
ekonomi, misalnya, tidak boleh tidak mind set pikiran harus diubah dan
diperbarui. Sebab jika tidak demikian, pekerjaan akan terasa amat sulit dan
menyiksa, sehingga dalam kadaan seperti itu tak bisa diharapkan darinya suatu
hasil pekerjaan yang baik dan positif.
Perasaan
Bersalah
Makna
harfiah dari sense of guilty adalah perasaan bersalah. Istilah ini telah umum
digunakan untuk menunjukkan ikhtiar seseorang yang selalu mengevaluasi
kinerjanya dan senantiasa untuk selalu melakukan yang lebih baik dan lebih baik
lagi.
Jika
boleh saya mengatakan, maka perasaan bersalah itu merupakan modal awal untuk
menjadi pemimpin yang baik. Barangkali Anda bingung dengan maksud saya ini,
mengingat pemimpin seharusnya percaya diri, bukan justru merasa bersalah yang
berpotensi menjadi penyebab terbengkalainya sebuah pekerjaan. Tapi, mari saya
jelaskan lebih jauh. Mudah-mudahan Anda paham maksud saya.
Saya
akan mulai menjelaskan dengan cara bertanya pada Anda terlebih dahulu, sebuah
pertanyaan sederhana: bagaimana respon anda ketika melihat orang yang berlagak
paling benar seduania, bagai tak pernah melakukan kesalahan atau lalai sedikit
pun, seperti seorang malaikat? Jika Anda orang baik-baik dan waras, tampaknya
tak perlu saya menunggu jawaban Anda, saya sudah bisa menebaknya tak jauh dari
yang satu ini: jengkel.
Sejatinya
tak pernah ada orang yang tidak pernah lalai dalam dalam hidupnya, sebagaimana
manusia diciptakan sebagai mahluk yang lemah (dha’if). Yang sempurnah dan tidak
pernah salah hanyalah Allah semata, tak ada duanya. Nabi Muhammad saja, yang
kita junjung tinggi dan dimuliakan oleh Allah, juga tak lepas dari yang namanya
kesalahan. Mengenai Nabi Muhammad, salah satunya kita bisa menunjuk teguran
Allah kepada beliau ketika mengatakan “ya” dalam membuat janji dengan
seseorang, seharusnya beliau menjawab “insyaallah”, sebab Allahlah yang maha
mengatur segala sesuatu.
Hal
ini memang sepele, tapi bagaimanapun hal ini menunjukkan betapa lemahnya
manusia sehingga tak luput dari kesalahan. Tapi memang, kebanyakan manusia di
abad ini enggan untuk mengakui kesalahannya, selalu menganggap dirinya paling
benar, seakan kesalahan hanyalah milik orang lain. Apa ini namanya kalau bukan
kesombongan seorang manusia? Ia berarti berusaha menyaingi Allah yang tak
tersaingi.
Keadaan
tersebut tentu tak akan pernah terjadi pada orang-orang yang maju dan berdaya
saing. Sebab mereka selalu mengeveluasi diri, mencari kesalahan diri, lalu
memperbaikinya dan mempersiapkan proyeksi-proyeksi matang untuk hari esok.
Mereka tidak sombong, mengaku salah jika memang salah, dan siap menerima
teguran dan belajar pada siapapun tanpa pandang bulu. Orang sukses tidak cukup
sukses secara materi, tidak hanya berarti mendapatkan apapun yang dia ingin,
melainkan merasakan ketenangan batin, dan mendapatkan tempat yang baik dalam masyarakat
sekitarnya.
Maka
dari itu, untuk mencapai kemajuan, kita harus pandai-pandai mengakui kesalahan.
Tentu saja, mengakui kesalahan setelah adanya alasan-alasan yang bisa diterima.
Mengaku salah jika memang sama sekali tidak merasa melakukan kesalahan itu juga
tidak baik, berarti lemah, dan akan merasa selalu terganggu. Namun bisa saja
begitu, asal untuk meredakan ketegangan atau mengakhiri perselisihan demi
kekompakan bersama.
Sense
of guilty yang dimaksud adalah perasaan bersalah terhadap sebuah kelalaian
sekecil apapun lalu berusaha memperbaikinya. Menunurut hemat saya, ini adalah
modal utama untuk menjadi pribadi yang maju dan pemimpin yang berkarakter.
Sense of guilty, jika diperhatikan secara seksama, pada titik tertentu meniscayakan adanya rasa tanggung jawab yang tinggi.
Anda pasti setuju, jika saya mengatakan bahwa si Paijo itu adalah orang yang
bertanggung jawab sebab ia merasa bersalah ketika tidak menjemput adiknya yang
pulang sekolah sebagaimana tugas yang diberikan padanya oleh orang tuanya.
Tidak
hanya itu, perasaan bersalah tak cukup hanya sebatas pearasaan tanpa makna,
apalagi berakibat kerugian pada orang lain. Perasaan bersalah harus dibarengi
dengan permintaan maaf untuk kemudian diperbaiki dan tidak mengulangi kembali.
Jika
tidak demikian, maka lupakankanlah cita-cita untuk menjadi orang sukses. Yang
ada, kita hanya akan dikucilkan, menjadi bahan pembicaraan orang, dan tidak
mendapat kepercayaan orang karena kita dicap sebagai ‘orang nakal’. Keadaan ini
akan menyulitkan kita untuk menyongsong hari esok.
Sekali
lagi, padai-pandailah mengoreksi kesalahan diri sendiri, meminta maaf, dan
selalu berusaha mengerjakan yang terbaik, terutama untuk kepentingan orang lain
(termasuk organisasi), bukan untuk pribadi dan golongan yang bersifat
parsial.***
[Tulisan ini bisa pula dibaca di sini]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar